17 Agustus 2009

Merdeka di Gunung Merapi

Lihat video pendakian DISINI
BULAN Agustus datang lagi, bulan yang juga penuh kenangan buatku. Karena pada bulan ini ditahun lalu aku dan teman-teman mengibarkan bendera sangsaka merah putih di puncak Gunung Sumbing, Jateng. Kali ini aku ingin mengulangnya lagi, tapi di tempat yang berbeda.

Aku dan Hardi sudah punya rencana lama sekali untuk mendaki gunung Merapi, tapi baru kali ini akan terealisasikan. Tapi, lagi-lagi Hendri gak bisa ikut seperti tahun kemarin. Mungkin Hendri lebih memilih lomba makan kerupuk di Asramanya daripada berpetualang naik gunung bersama kami. Meskipun kami hanya berdua, niat kami tak akan kami urungkan. Berkat usaha yang gigih dalam mempromosikan pendakian ke Merapi, kami dapat dua orang teman yang ingin serta. Atra dan Yuher. Atra adalah teman sekampusku yang juga pernah ikut pada pendakian ke Sindoro episod 2 bulan Mei lalu, sedangkan Yuher adalah teman lamaku yang datang dari Pekanbaru untuk berlibur di Jogja.
Pic. Nobel, Hardi, Atra, Yuher (Sebelum berangkat)



Rencana kami sudah matang. Sekarang hari pelaksanaan (16 Agustus 2009). Kami berempat berangkat dari kosanku yang terletak di Pogung, Jogja sekitar pukul 13.00 wib. Seperti biasa, kami naik motor ke terminal Jombor dan menitipkan motor di penitipan dekat terminal. Kami berangkat menggunakan bus jurusan Magelang. Jalan yang kami tuju hampir sama dengan jalan pendakian tiga gunung sebelumnya (Merbabu, Sindoro dan Sumbing), selalu berorientasi ke arah utara, karena memang “kebanyakan” gunung yang kami daki terletak di utara Jogja.
Pic. Perjalanan menggunakan mobil pick up

Kami tiba di terminal bus Muntilan (sebelum Kota Magelang, jika berangkat dari Jogja) sekitar pukul15.00 wib. Dan segera melanjutkan perjalanan dua kali nyambung menggunakan mobil angkudes (angkutan pedesaan) menuju basecamp pendakian merapi di desa Selo. Kami tiba di basecamp pendakian Merapi sekitar pukul 17.00 karena tadi cukup lama menunggu angkutan yang kedua. Setibanya di basecamp, kami mengisi perut dengan makan nasi telur di warung yang buka dekat basecamp. Setelah tenaga dicharge penuh, kamipun memulai pendakian.
Pic. persiapan minum Vitamin sebelum berangkat.

Pukul 19.00 wib. Banyak sekali para pendaki yang naik ke Merapi, misi kami semua sama yaitu merayakan kemerdekaan RI di puncak Merapi. Kami tidak kesepian di jalan. Saling susul menyusul antar sesama pendakipun terjadi. Saking ramainya, kadang kami perlu antri jika menemui jalan sempit. 

Perjalanan dari awal pendakian sudah terasa sangat menanjak, kemiringan mencapai 35 derajat. Jalanan berpasir yang kering kala itu menyisakan debu-debu tebal yang diterbangkan oleh angin atau akibat pergerakan orang di depan kami. Lubang hidung akan terasa sesak sekali jika tidak segera ditutupi masker. Bahkan Yuher, yang badannya paling kecil diantara kami seakan hilang oleh rimbunnya debu malam itu.
Pic. Background summit attack

Kami sudah berjalan lama sekali, kami sudah kelelahan namun puncak belum juga kelihatan. Sekarang sekitar pukul 01.00 wib Kami memutuskan untuk mencari tempat bernaung sementara dari dinginnya angin malam pegunungan. Kami memilih tempat di tengah-tengah pepohonan kecil yang lumayan bisa menahan laju angin. Tanpa banyak basa basi, kami tak menyia-nyiakan waktu untuk segera istirahat. Aku terpaksa berbagi sleeping bag ku dengan Atra karena kasihan melihat dia menggigil kedinginan. Sedangkan Hardi dengan egoisnya sudah terlelap tidur. Beberapa kali aku terbangun untuk memperbaiki posisi tidur karena merosot ke bawah, kami tidur di tempat miring karena sulitnya mencari dataran. Dengan menjaga badan tetap hangat di bawah balutan sleeping bag, akupun terpulas. 

Aku sengaja menyalakan alaram hapeku pada pukul 03.00 wib, sekarang sudah 17 Agustus, kami punya target untuk sampai ke puncak Merapi sebelum didahului oleh kokok ayam jantan. Bangun dari lelapnya tidur di tempat yang sedingin ini sangatlah berat, apalagi kalau sudah pewe (posisi wenak). Tapi demi melihat sunrise di puncak gunung, demi mengibarkan sangsaka merah putih dan demi cerita masa tua kami melupakan rasa dingin yang menusuk pinggang. Kami bangun dan melanjutkan perjalanan sambil mengumpulkan nyawa yang masih berterbangan. Tak lama berjalan, kami tiba di sebuah dataran yang sangat luas yang diberi nama Pasar setan oleh para pendaki. Ternyata setan hampir sama dengan manusia, juga punya pasar. Mungkin yang dijualnya berupa-rupa kemenyan, darah ayam cemani atau ari-ari bayi, aku coba mengira-ngira. Di tempat ini banyak sekali para pendaki mendirikan tenda karena tempatnya memang sangat stategis. Dan dekat di depan kami, berdiri angkuh segerombolan batu besar membentuk gundukan yang mengerucut. Itu dia puncak Merapi, sesungguhnya pendakian baru akan dimulai.
Pic. Diambil dari salah satu lereng

Cuma sebentar kami istirahat di Pasar setan, tentunya bukan untuk belanja, dan tanpa membuang waktu, kami melakukan summit attack. Summit attack kalau diterjemahkan secara harfiah adalah menyerang puncak, memang pada dasarnya demikian tapi pada hakikatnya berbeda. Summit attack berbeda dengan pendakian sebelumnya tadi, karena biasanya semangat akan lebih menggebu-gebu jika sudah melihat tujuan.
Pic. View dari Pasar Setan (camp istirahat)

Jalanan yang tadinya berupa pasir-pasir berbisik sekarang berubah menjadi bebatuan yang labil (bebabil) dengan sudut kemiringan mencapai 45 derajat. Karena Cuma memakai sendal kesayangan, alhasil kakiku tertimpa batu dan sedikit lecet. Aku tidak menyesal memakai sendal ini, sendal ini sudah setia menemani aku melewati tiga puncak gunung, aku takkan menyalahkannya. Beberapa kali aku hampir terjungkal ke belakang karena ketidakstabilan ini. Kami harus berjalan selang seling dan dengan jarak yang cukup berjauhan agar tidak membahayakan teman yang ada di belakang jika terjadi longsoran batu dari pendaki di atasnya. Semakin lama, jarak yang tercipta antara kami semakin jauh, Hardi terpisah dari kelompok dan menghilang di tebing bebatuan.
Pic. Bebatuan puncak Merapi

Nyaliku seketika ciut seperti kerupuk yang disiram air panas ketika aku hampir terjungkal untuk ketiga kalinya, konsentrasiku buyar karena kelelahan. Akhirnya aku, memutuskan untuk beristirahat saja di tebing ini sampai sedikit agak terang. aku koreksi, bukannya aku bermental kerupuk seperti yang kalian kira, aku hanya memegang prinsipku. “Bayangkan jika aku tetap melanjutkan perjalanan dan aku terjatuh lalu mati, maka ini adalah gunung terakhir yang aku daki, sedangkan jika aku sedikit bersabar maka aku akan tetap hidup untuk menaklukkan seribu puncak gunung lagi”.

Kami bertiga kehalangan komunikasi dengan Hardi, hape tidak berfungsi karena tak ada sinyal. Positif thinking aja, aku percaya dengan pengalaman yang telah aku lalui dengannya, Hardi pasti bisa melewati ini sendiri. Aku sudah mengajarinya cara untuk survive, semoga dia masih ingat. Sedangkan Atra dan Yuher sekarang menjadi tenggungjawabku, kalian tenang saja.
Pic. Pengibaran Bendera Di Puncak Merapi

Setelah sunrise, kami bertiga mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada dan kembali mendaki. Tak lama setelah itu, puncakpun kelihatan. Semangatku yang tinggal separuh tiba-tiba terisi kembali ketika melihat lambaian tangan Hardi di atas sana. Aku bangga dengan Hardi, hasil didikanku sendiri. Aku menambah speed meninggalkan Atra dan yuher, dan sampai di puncak Merapi. Pukul 07.00 wib, kami mengibarkan bendera merah putih.NBL^^
Pic. Nobel, Atra, Yuher, Hardi (Dipuncak Merapi)
 Ini kisahku, apa kisahmu?




2 komentar:

  1. pantang di ang..hahahaa....
    pembunuhan karakter si hardi banget tuh...

    BalasHapus
  2. ini kan masih juli, itu agustus kapan?

    'Bayangkan jika aku tetap melanjutkan perjalanan dan aku terjatuh lalu mati, maka ini adalah gunung terakhir yang aku daki, sedangkan jika aku sedikit bersabar maka aku akan tetap hidup untuk menaklukkan seribu puncak gunung lagi'

    I realy love that quote!!

    keep writing ;D

    BalasHapus

Terimakasih sudah meninggalkan komentar.