Lihat video
pendakian DISINI
BULAN Agustus
datang lagi, bulan yang juga penuh kenangan buatku. Karena pada bulan ini
ditahun lalu aku dan teman-teman mengibarkan bendera sangsaka merah putih di
puncak Gunung Sumbing, Jateng.
Kali ini aku ingin mengulangnya lagi, tapi di tempat yang berbeda.
Aku dan Hardi
sudah punya rencana lama sekali untuk mendaki gunung Merapi, tapi baru kali ini
akan terealisasikan. Tapi, lagi-lagi Hendri gak bisa ikut seperti tahun
kemarin. Mungkin Hendri lebih memilih lomba makan kerupuk di Asramanya daripada
berpetualang naik gunung bersama kami. Meskipun kami hanya berdua, niat kami
tak akan kami urungkan. Berkat usaha yang gigih dalam mempromosikan pendakian
ke Merapi, kami dapat dua orang teman yang ingin serta. Atra dan Yuher. Atra
adalah teman sekampusku yang juga pernah ikut pada pendakian ke Sindoro episod
2 bulan Mei lalu, sedangkan Yuher adalah teman lamaku yang datang dari
Pekanbaru untuk berlibur di Jogja.
Pic. Nobel, Hardi, Atra, Yuher (Sebelum berangkat) |
Rencana kami
sudah matang. Sekarang hari pelaksanaan (16 Agustus 2009). Kami berempat
berangkat dari kosanku yang terletak di Pogung, Jogja sekitar pukul 13.00 wib.
Seperti biasa, kami naik motor ke terminal Jombor dan menitipkan motor di
penitipan dekat terminal. Kami berangkat menggunakan bus jurusan Magelang.
Jalan yang kami tuju hampir sama dengan jalan pendakian tiga gunung sebelumnya
(Merbabu, Sindoro dan Sumbing), selalu
berorientasi ke arah utara, karena memang “kebanyakan” gunung yang kami daki
terletak di utara Jogja.
Pic. Perjalanan menggunakan mobil pick up |
Kami tiba di
terminal bus Muntilan (sebelum Kota Magelang, jika berangkat dari Jogja)
sekitar pukul15.00 wib. Dan segera melanjutkan perjalanan dua kali nyambung
menggunakan mobil angkudes (angkutan pedesaan) menuju basecamp pendakian merapi
di desa Selo. Kami tiba di basecamp pendakian Merapi sekitar pukul 17.00 karena
tadi cukup lama menunggu angkutan yang kedua. Setibanya di basecamp, kami
mengisi perut dengan makan nasi telur di warung yang buka dekat basecamp.
Setelah tenaga dicharge penuh, kamipun memulai pendakian.
Pic. persiapan minum Vitamin sebelum berangkat. |
Pukul 19.00
wib. Banyak sekali para pendaki yang naik ke Merapi, misi kami semua sama yaitu
merayakan kemerdekaan RI di puncak Merapi. Kami tidak kesepian di jalan. Saling
susul menyusul antar sesama pendakipun terjadi. Saking ramainya, kadang kami
perlu antri jika menemui jalan sempit.
Perjalanan dari
awal pendakian sudah terasa sangat menanjak, kemiringan mencapai 35 derajat.
Jalanan berpasir yang kering kala itu menyisakan debu-debu tebal yang
diterbangkan oleh angin atau akibat pergerakan orang di depan kami. Lubang
hidung akan terasa sesak sekali jika tidak segera ditutupi masker. Bahkan
Yuher, yang badannya paling kecil diantara kami seakan hilang oleh rimbunnya
debu malam itu.
Pic. Background summit attack |
Kami sudah
berjalan lama sekali, kami sudah kelelahan namun puncak belum juga kelihatan.
Sekarang sekitar pukul 01.00 wib Kami memutuskan untuk mencari tempat bernaung
sementara dari dinginnya angin malam pegunungan. Kami memilih tempat di
tengah-tengah pepohonan kecil yang lumayan bisa menahan laju angin. Tanpa
banyak basa basi, kami tak menyia-nyiakan waktu untuk segera istirahat. Aku
terpaksa berbagi sleeping bag ku dengan Atra karena kasihan melihat dia
menggigil kedinginan. Sedangkan Hardi dengan egoisnya sudah terlelap tidur.
Beberapa kali aku terbangun untuk memperbaiki posisi tidur karena merosot ke
bawah, kami tidur di tempat miring karena sulitnya mencari dataran. Dengan
menjaga badan tetap hangat di bawah balutan sleeping bag, akupun terpulas.
Aku sengaja
menyalakan alaram hapeku pada pukul 03.00 wib, sekarang sudah 17 Agustus, kami
punya target untuk sampai ke puncak Merapi sebelum didahului oleh kokok ayam
jantan. Bangun dari lelapnya tidur di tempat yang sedingin ini sangatlah berat,
apalagi kalau sudah pewe (posisi wenak). Tapi demi melihat sunrise di puncak
gunung, demi mengibarkan sangsaka merah putih dan demi cerita masa tua kami
melupakan rasa dingin yang menusuk pinggang. Kami bangun dan melanjutkan
perjalanan sambil mengumpulkan nyawa yang masih berterbangan. Tak lama
berjalan, kami tiba di sebuah dataran yang sangat luas yang diberi nama Pasar
setan oleh para pendaki. Ternyata setan hampir sama dengan manusia, juga punya
pasar. Mungkin yang dijualnya berupa-rupa kemenyan, darah ayam cemani atau
ari-ari bayi, aku coba mengira-ngira. Di tempat ini banyak sekali para pendaki
mendirikan tenda karena tempatnya memang sangat stategis. Dan dekat di depan
kami, berdiri angkuh segerombolan batu besar membentuk gundukan yang
mengerucut. Itu dia puncak Merapi, sesungguhnya pendakian baru akan dimulai.
Pic. Diambil dari salah satu lereng |
Cuma sebentar
kami istirahat di Pasar setan, tentunya bukan untuk belanja, dan tanpa membuang
waktu, kami melakukan summit attack. Summit attack kalau diterjemahkan secara
harfiah adalah menyerang puncak, memang pada dasarnya demikian tapi pada
hakikatnya berbeda. Summit attack berbeda dengan pendakian sebelumnya tadi,
karena biasanya semangat akan lebih menggebu-gebu jika sudah melihat tujuan.
Pic. View dari Pasar Setan (camp istirahat) |
Jalanan yang
tadinya berupa pasir-pasir berbisik sekarang berubah menjadi bebatuan yang
labil (bebabil) dengan sudut kemiringan mencapai 45 derajat. Karena Cuma
memakai sendal kesayangan, alhasil kakiku tertimpa batu dan sedikit lecet. Aku
tidak menyesal memakai sendal ini, sendal ini sudah setia menemani aku melewati
tiga puncak gunung, aku takkan menyalahkannya. Beberapa kali aku hampir
terjungkal ke belakang karena ketidakstabilan ini. Kami harus berjalan selang
seling dan dengan jarak yang cukup berjauhan agar tidak membahayakan teman yang
ada di belakang jika terjadi longsoran batu dari pendaki di atasnya. Semakin
lama, jarak yang tercipta antara kami semakin jauh, Hardi terpisah dari
kelompok dan menghilang di tebing bebatuan.
Pic. Bebatuan puncak Merapi |
Nyaliku
seketika ciut seperti kerupuk yang disiram air panas ketika aku hampir
terjungkal untuk ketiga kalinya, konsentrasiku buyar karena kelelahan. Akhirnya
aku, memutuskan untuk beristirahat saja di tebing ini sampai sedikit agak
terang. aku koreksi, bukannya aku bermental kerupuk seperti yang kalian kira,
aku hanya memegang prinsipku. “Bayangkan jika aku tetap melanjutkan perjalanan
dan aku terjatuh lalu mati, maka ini adalah gunung terakhir yang aku daki,
sedangkan jika aku sedikit bersabar maka aku akan tetap hidup untuk menaklukkan
seribu puncak gunung lagi”.
Kami bertiga
kehalangan komunikasi dengan Hardi, hape tidak berfungsi karena tak ada sinyal.
Positif thinking aja, aku percaya dengan pengalaman yang telah aku lalui
dengannya, Hardi pasti bisa melewati ini sendiri. Aku sudah mengajarinya cara
untuk survive, semoga dia masih ingat. Sedangkan Atra dan Yuher sekarang
menjadi tenggungjawabku, kalian tenang saja.
Pic. Pengibaran Bendera Di Puncak Merapi |
Setelah
sunrise, kami bertiga mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada dan kembali
mendaki. Tak lama setelah itu, puncakpun kelihatan. Semangatku yang tinggal
separuh tiba-tiba terisi kembali ketika melihat lambaian tangan Hardi di atas
sana. Aku bangga dengan Hardi, hasil didikanku sendiri. Aku menambah speed
meninggalkan Atra dan yuher, dan sampai di puncak Merapi. Pukul 07.00 wib, kami
mengibarkan bendera merah putih.NBL^^
Pic. Nobel, Atra, Yuher, Hardi (Dipuncak Merapi) |
Ini kisahku, apa kisahmu?
pantang di ang..hahahaa....
BalasHapuspembunuhan karakter si hardi banget tuh...
ini kan masih juli, itu agustus kapan?
BalasHapus'Bayangkan jika aku tetap melanjutkan perjalanan dan aku terjatuh lalu mati, maka ini adalah gunung terakhir yang aku daki, sedangkan jika aku sedikit bersabar maka aku akan tetap hidup untuk menaklukkan seribu puncak gunung lagi'
I realy love that quote!!
keep writing ;D